Segera atau Menunda-nunda!

JPIC Kalimantan Barat
4 Min Read
Ilustrasi: Foto Seorang yang sedang bekerja

JPIC Kalimantan Barat- Pernahkah, kadang-kadangkah, atau sering kalikah kita menunda-nunda melakukan sesuatu? Pertanyaan itu membantu untuk mengingat-ingat kembali bahwa kita memiliki sifat tersebut.

Lebih dari itu, agar kita sadar bahwa sifat menunda-nunda itu sangat merugikan diri sendiri dan sesama. Menunda-nunda merupakan salah satu sifat yang menghambat kemajuan hidup baik rohani maupun jasmani.

Apa yang mendorong, sehingga kita mudah menunda-nunda melakukan sesuatu? Menunda-nunda melakukan sesuatu merupakan fenomena reaksi emosional yang murni terhadap sesuatu yang tidak mau segera dilakukan pada saat tersebut. Untuk itu, kita perlu merefleksikan mengapa reaksi emosional yang demikian?

Fenomena sifat menunda setiap pribadi tentu berbeda-beda. Beberapa faktor ini mungkin membantu kita mengenal reaksi emosional, sehingga mau menundanya. Kita sedang mengalami kebosanan, jenuh, lagi frustrasi, ada kesulitan-masalah, atau juga mempunyai persepsi bahwa itu tidak jelas, kurang bermanfaat, menyenangkan, bermakna, menganggap sepeleh, lagi santai asyik toh bisa dikerjakan besok-besok dan sebagainya.

Mulanya sifat ini dapat dikendalikan, tetapi lama kelamaan akan menjadi kebiasaan yang akhirnya membentuk watak yang buruk.

Berkaitan dengan menunda-nunda, Markus 1:14-20 menekankan hal penting bahwa waktunya sudah genap, Kerajaan Allah sudah dekat, bertobatlah dan percayalah kepada Injil.

Hal itu dapat dibuktikan ketika para nelayan (Simon, Andreas, Yakobus, dan Yohanes) yang sedang sibuk dan asyik menjala ikan lalu dipanggil Yesus.  Tanpa alasan apapun mereka segera meninggalkan perahu, jala, dan ayahnya pergi mengikuti Yesus.

Ilustrasi: Bekerja saat ini kebanyakan menggunakan labtob/komputer

Sesuatu keutamaan

Hal penting yang dapat kita belajar dari para nelayan, yakni segera pergi melakukannya. Mereka tidak menunda-nunda lagi dengan berbagai alasan.

Sebagian besar dari kita masih ada alasan, sehingga membuka peluang mau menunda-nunda. Di balik alasan itu, sebenarnya ada sesuatu yang ditutupi atau disembunyikan.

Pertama, ada rasa malas. Orang yang sudah merasa nyaman dan aman (mapan) akan terusik bila diminta berubah. Baginya lebih mudah menunda daripada segera melakukan karena akan terancam menderita. Kedua, takut salah.

Orang akan mencari alasan karena takut melakukan kesalahan. Lebih dari itu dengan memberi alasan sebenarnya ia telah menjustifikasikan kesalahan itu sendiri, sehingga berat mengikuti suatu kebenaran. Padahal, kesalahan itu harus diakui, diterima dan diperbaiki demi perkembangan yang lebih baik. Ketiga, menunggu waktu yang tepat.

Kita cenderung lebih menunggu dan mencari kesempatan yang tepat padahal semua waktu merupakan kesempatan yang tepat untuk berbuat-melakukan (kebaikan).

Dengan demikian, pewartaan Markus sederhana saja bahwa kita segera bertobat dan percaya pada Injil.

Kerajaan Allah bukan lagi sudah dekat melainkan sedang ada bersama kita saat ini. Kita tinggal memilih mau segera mengikuti cara, pola hidup Yesus yang begitu mengasihi kita ataukah menunda-nunda?

Ataukah kita masih mencari alasan dan menunggu kesempatan yang tepat? Itulah pilihan mau berpihak pada Injil (kabar baik-kebaikan) atau tetap tenggelam dalam duka-nestapa, sehingga hari-hari tiada luput dari keluhan tentang susah dan derita tanpa ada rasa syukur bahwa Yesus sedang ada bersama kita.

Bagaimana, masih mau menunda-nunda dalam susah dan derita atau segera bertobat dan percaya pada Injil? (*** Catatan di Minggu, 2112024 Br. Gerardus Weruin, MTB).

Share This Article
Leave a comment

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *